Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَا
أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا
إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Tidaklah
Kami mengutus sebelum engkau [Muhammad] seorang rasul pun melainkan Kami
wahyukan kepadanya; tidak ada ilah [yang benar] selain Aku, maka sembahlah Aku
[saja]” (QS. Al-Anbiya’: 25)
Imam
Al Baghawi rahimahullah menafsirkan makna perintah ‘sembahlah
Aku’ dengan ‘tauhidkanlah Aku’ (lihat Ma’alim at-Tanzil,
hal. 834). Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,
“Setiap kitab suci yang diturunkan kepada setiap nabi yang diutus semuanya
menyuarakan bahwa tidak ada ilah [yang benar] selain Allah, akan tetapi kalian
-wahai orang-orang musyrik- tidak mau mengetahui kebenaran itu dan kalian
justru berpaling darinya…” “Setiap nabi yang diutus oleh Allah mengajak untuk
beribadah kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu
apapun. Bahkan fitrah pun telah mempersaksikan kebenaran hal itu. Adapun
orang-orang musyrik sama sekali tidak memiliki hujjah/landasan yang kuat atas
perbuatannya. Hujjah mereka tertolak di sisi Rabb mereka. Mereka layak
mendapatkan murka Allah dan siksa yang amat keras dari-Nya.” (lihat Tafsir
al-Qur’an al-’Azhim [5/337-338] cet. Dar Thaibah)
Allah ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ
بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا
الطَّاغُوتَ
“Sungguh
Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul [yang berseru]: Sembahlah
Allah dan jauhilah thaghut” (QS. An-Nahl: 36)
Allah ta’ala berfirman,
قَدْ
أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا
لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ
“Sungguh
Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka dia berkata; Wahai kaumku,
sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya” (QS. Al-A’raaf:
59).
Allah ta’ala berfirman,
وَإِلَى
عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ
إِلَهٍ غَيْرُهُ أَفَلَا تَتَّقُونَ
“Dan
kepada kaum ‘Aad, Kami utus saudara mereka yaitu Hud. Dia berkata; Wahai
kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya” (QS.
al-A’raaf: 65).
Allah ta’ala berfirman,
وَإِلَى
ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ
إِلَهٍ غَيْرُهُ
“Dan
kepada kaum Tsamud, Kami utus saudara mereka yaitu Shalih. Dia berkata; Wahai
kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya” (QS.
Al-A’raaf: 73).
Allah ta’ala berfirman,
وَإِلَى
مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ
إِلَهٍ غَيْرُهُ
“Dan
kepada kaum Madyan, Kami utus saudara mereka yaitu Syu’aib. Dia berkata; Wahai
kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya” (QS.
Al-A’raaf: 85).
Syaikh
Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili hafizhahullah berkata,
“Barangsiapa mentadabburi Kitabullah serta membaca Kitabullah dengan penuh
perenungan, niscaya dia akan mendapati bahwasanya seluruh isi al-Qur’an; dari
al-Fatihah sampai an-Naas, semuanya berisi dakwah
tauhid. Ia bisa jadi berupa seruan untuk bertauhid, atau bisa juga berupa peringatan dari
syirik. Terkadang ia berupa penjelasan tentang keadaan orang-orang yang
bertauhid dan keadaan orang-orang yang berbuat syirik. Hampir-hampir al-Qur’an
tidak pernah keluar dari pembicaraan ini. Ada kalanya ia membahas tentang suatu
ibadah yang Allah syari’atkan dan Allah terangkan hukum-hukumnya, maka ini
merupakan rincian dari ajaran tauhid…” (lihat Transkrip Syarh
al-Qawa’id al-Arba’, hal. 22)
Syaikh
as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Seluruh isi al-Qur’an
berbicara tentang penetapan tauhid dan menafikan lawannya. Di dalam kebanyakan
ayat, Allah menetapkan tauhid uluhiyah dan kewajiban untuk memurnikan
ibadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya. Allah pun mengabarkan
bahwa segenap rasul hanyalah diutus untuk mengajak kaumnya supaya beribadah
kepada Allah saja dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Allah
pun menegaskan bahwa tidaklah Allah menciptakan jin dan manusia kecuali supaya
mereka beribadah kepada-Nya. Allah juga menetapkan bahwasanya seluruh kitab
suci dan para rasul, fitrah dan akal yang sehat, semuanya telah sepakat
terhadap pokok ini. Yang ia merupakan pokok paling mendasar diantara segala
pokok ajaran agama.” (lihat al-Majmu’ah al-Kamilah[8/23])
Allah ta’ala berfirman,
إِنَّهُمْ
كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ
وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ
“Sesungguhnya
mereka itu apabila dikatakan kepada mereka laa ilaaha illallah maka mereka pun
menyombongkan diri. Mereka berkata: Akankah kami meninggalkan
sesembahan-sesembahan kami karena seorang penyair yang gila” (QS.
Ash-Shaffat: 35-36)
Allah ta’ala berfirman,
وَعَجِبُوا
أَنْ جَاءَهُمْ مُنْذِرٌ مِنْهُمْ وَقَالَ الْكَافِرُونَ هَذَا سَاحِرٌ كَذَّابٌ
(4)
أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا
لَشَيْءٌ عُجَابٌ
“Dan
mereka [orang-orang musyrik Quraisy] merasa keheranan terhadap seorang pemberi
peringatan yang muncul dari kalangan mereka. Orang-orang kafir itu pun berkata:
‘Dia ini adalah penyair lagi tukang dusta. Apakah dia hendak menjadikan
ilah-ilah (sesembahan-sesembahan) ini menjadi satu sesembahan saja? Tentu saja ini
adalah perkara yang sangat mengherankan’” (QS. Shaad: 4-5)
Allah ta’ala berfirman,
وَقَضَى
رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Rabbmu
memerintahkan: Janganlah kalian beribadah kecuali hanya kepada-Nya, dan kepada
kedua orang tua hendaklah kalian berbuat baik” (QS. Al-Israa’: 23)
Syaikh
as-Sa’di rahimahullah berkata, “Perkara paling agung yang
diperintahkan Allah adalah tauhid, yang hakikat tauhid itu adalah mengesakan
Allah dalam ibadah. Tauhid itu mengandung kebaikan bagi hati, memberikan
kelapangan, cahaya, dan kelapangan dada. Dan dengan tauhid itu pula akan
lenyaplah berbagai kotoran yang menodainya. Pada tauhid itu terkandung kemaslahatan bagi badan,
serta bagi [kehidupan] dunia dan akhirat. Adapun perkara paling besar yang
dilarang Allah adalah syirik dalam beribadah kepada-Nya. Yang hal itu
menimbulkan kerusakan dan penyesalan bagi hati, bagi badan, ketika di dunia
maupun di akhirat. Maka segala kebaikan di dunia dan di akhirat itu semua
adalah buah dari tauhid. Demikian pula, semua keburukan di dunia dan di
akhirat, maka itu semua adalah buah dari syirik.” (lihat al-Qawa’id
al-Fiqhiyah, hal. 18)
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan bahwa suatu
ketika ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan menanyakan kepada beliau tentang iman, islam, dan ihsan.
Lelaki itu berkata, “Wahai Rasulullah, apa itu Islam?”. Beliau menjawab, “Islam
adalah kamu beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu
apapun, kamu mendirikan sholat wajib, membayar zakat yang telah diwajibkan, dan
berpuasa Ramadhan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman terdiri dari tujuh puluh
sekian atau enam puluh sekian cabang. Yang paling utama adalah ucapan laa ilaha
illallah dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa
malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam
an-Nawawi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallammenegaskan bahwa bagian iman yang paling utama adalah
tauhid yang hukumnya wajib ‘ain atas setiap orang, dan itulah perkara yang
tidaklah dianggap sah/benar cabang-cabang iman yang lain kecuali setelah sahnya hal ini
(tauhid).” (lihat Syarh Muslim [2/88])
Dari
Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallambersabda, “Islam dibangun di atas lima perkara; tauhid
kepada Allah, mendirikan sholat, menunaikan zakat,
puasa
Ramadhan,
dan haji.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dari
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya hak Allah atas hamba adalah
mereka harus menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Adapun
hak hamba yang pasti diberikan Allah ‘azza wa jalla adalah Dia
tidak akan menyiksa [kekal di neraka, pent] orang yang tidak
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Allah ta’ala berfirman,
مَا
كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ
ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ
كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
وَلَا يَأْمُرَكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلَائِكَةَ وَالنَّبِيِّينَ أَرْبَابًا
أَيَأْمُرُكُمْ بِالْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Tidaklah
pantas bagi seorang manusia yang diberikan Allah kepadanya al-Kitab, hukum dan
kenabian lantas berkata kepada manusia: Jadilah kalian sebagai pemuja diriku
sebagai tandingan untuk Allah. Akan tetapi jadilah kalian rabbani dengan sebab
apa yang kalian ajarkan berupa al-Kitab dan apa yang kalian pelajari. Dan
tidaklah dia memerintahkan kalian untuk menjadikan malaikat dan nabi-nabi
sebagai sesembahan. Apakah dia hendak memerintahkan kalian kafir setelah kalian
memeluk Islam?” (QS. Ali ‘Imran: 79-80)
Ibnu
Juraij dan sekelompok ulama tafsir yang lain menjelaskan, bahwa maksud dari
ayat ini adalah, “Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidaklah
memerintahkan kalian untuk menjadikan malaikat dan para nabi sebagai
sesembahan, sebagaimana halnya yang dilakukan oleh kaum Quraisy dan Shabi’in
yang berkeyakinan bahwa malaikat adalah putri-putri Allah. Tidak juga
sebagaimana kaum Yahudi dan Nasrani yang berkeyakinan tentang ‘Isa al-Masih dan
‘Uzair seperti apa yang mereka ucapkan [bahwa mereka adalah anak Allah, pent].”
(lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 220 oleh Imam al-Baghawi)
Disebutkan
dalam riwayat, bahwasanya suatu ketika orang-orang Yahudi datang kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian mereka berkata,
“Apakah kamu wahai Muhammad ingin untuk kami jadikan sebagai rabb/sesembahan?”
Maka Allah pun menurunkan ayat di atas sebagai tanggapan untuk mereka (lihatal-Jami’
li Ahkam al-Qur’an [5/187] oleh Imam al-Qurthubi)
Imam
Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan, “Lalu Allah berfirman
(yang artinya), “Dan dia tidaklah memerintahkan kalian untuk menjadikan
malaikat dan para nabi sebagai sesembahan” yaitu dia tidak memerintahkan kalian
beribadah kepada siapapun selain Allah, baik kepada nabi yang diutus ataupun
malaikat yang dekat -dengan Allah-. “Apakah dia akan memerintahkan kalian
kepada kekafiran setelah kalian memeluk Islam?”. Artinya dia [rasul] tidak
melakukan hal itu. Karena barangsiapa yang mengajak kepada peribadatan kepada
selain Allah maka dia telah mengajak kepada kekafiran. Padahal para nabi
hanyalah memerintahkan kepada keimanan; yaitu beribadah kepada Allah semata
yang tidak ada sekutu bagi-Nya.” Hal itu sebagaimana firman
Allahta’ala (yang artinya), “Dan tidaklah Kami mengutus sebelum engkau
seorang rasul pun kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan
-yang benar- selain Aku, maka sembahlah Aku [saja]” (QS. Al-Anbiya’: 25)
dst.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [2/67])
Allah ta’ala berfirman,
وَمِنْ
آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لَا تَسْجُدُوا
لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ
كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Diantara
tanda kebesaran Allah adalah malam dan siang, matahari dan bulan, maka
janganlah kalian sujud kepada matahari atau kepada bulan. Akan tetapi sujudlah
kepada Allah yang telah menciptakan itu semua, jika kalian benar-benar
beribadah hanya kepada-Nya” (QS. Fushshilat: 37)
Imam
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan maksud dari ayat,
“Janganlah kalian sujud kepada matahari atau kepada bulan. Akan tetapi sujudlah
kepada Allah yang telah menciptakan itu semua.” Beliau berkata, “Janganlah
kalian mempersekutukan hal itu dengan-Nya. Karena tidaklah berguna ibadah
kalian kepada-Nya jika kalian juga beribadah kepada selain-Nya. Sebab Allah
tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya.” (lihat Tafsir
al-Qur’an al-’Azhim[7/182] cet. Dar Thaibah)
Allah ta’ala berfirman,
وَمَنْ
يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لَا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ
عِنْدَ رَبِّهِ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa
yang berdoa (beribadah) kepada sesembahan lain disamping doanya kepada Allah
yang itu jelas tidak ada keterangan/pembenar atasnya, maka sesungguhnya
hisabnya ada di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak akan
beruntung” (QS. Al-Mukminun: 117)
Allah ta’ala berfirman,
إِنَّهُ
مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ
وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya
barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka Allah haramkan atasnya surga dan
tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu
penolong” (QS. Al-Ma’idah: 72)
Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ
اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ
يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya. Dan masih berkenan untuk
mengampuni apa-apa yang berada di bawah tingkatannya bagi siapa pun yang
dikehendaki-Nya” (QS. An-Nisaa’: 48)
Allah ta’ala berfirman,
وَأَنَّ
الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
“Sesungguhnya
masjid-masjid itu adalah milik Allah maka janganlah kalian berdoa kepada
siapapun bersama -doa kalian kepada- Allah” (QS. al-Jin: 18).
Syaikh Shalih as-Suhaimi hafizhahullahmenjelaskan, “Artinya
janganlah kalian beribadah kepada siapapun selain kepada-Nya.” (lihat Syarh
Tsalatsat al-Ushul, hal. 15)
Berdoa
kepada selain Allah bahkan termasuk perbuatan kekafiran yang mengeluarkan
pelakunya dari agama Islam. Allah ta’ala berfirman,
وَمَنْ
يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لَا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ
عِنْدَ رَبِّهِ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa
yang berdoa kepada sesembahan lain disamping doanya kepada Allah yang itu jelas
tidak ada keterangan/pembenar atasnya, maka sesungguhnya hisabnya ada di sisi
Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak akan beruntung” (QS.
al-Mukminun: 117).
Yang dimaksud dengan doa dalam ayat ini adalah ibadah
(lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/367] cet. al-Maktabah
at-Taufiqiyah)
Tidak
ada kesesatan yang lebih buruk daripada kesesatan orang yang berdoa dan
bergantung kepada selain Allah. Allah ta’ala berfirman,
وَمَنْ
أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى
يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ وَإِذَا حُشِرَ
النَّاسُ كَانُوا لَهُمْ أَعْدَاءً وَكَانُوا بِعِبَادَتِهِمْ كَافِرِينَ
“Siapakah
yang lebih sesat daripada orang-orang yang berdoa (beribadah) kepada selain
Allah, sesuatu yang tidak bisa memenuhi keinginannya hingga hari kiamat.
Sementara mereka itu lalai dari doa yang dipanjatkan kepada mereka. Tatkala
umat manusia dikumpulkan -di hari kiamat- maka sesembahan mereka itu justru
menjadi musuh mereka. Dan mereka sendiri mengingkari peribadahan yang ditujukan
kepada dirinya” (QS. al-Ahqaf: 5-6)
Demikian
yang bisa kami himpun dalam kesempatan ini. Semoga bermanfaat.Wa shallallahu
‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil
‘alamin.
Artikel
Muslim.Or.Id
WARNING..!! Etika BERKOMENTAR di Blog all's well :
a. Gunakanlah Perkataan yang Baik, Ramah dan Sopan
b. Komentar SPAM akan all's well HAPUS setelah direview
c. Komentar NEGATIF & RASIS akan Segera di HAPUS
d. Dilarang Menambahkan "LINK AKTIF" dalam Komentar
Note: "ANDA SOPAN KAMI PUN SEGAN" (all's well) ConversionConversion EmoticonEmoticon