Persepsi masyarakat terhadap madrasah di era modern belakangan ini
semakin menjadikan madrasah sebagai lembaga pendidikan yang unik. Di
saat ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat, di saat filsafat
hidup manusia modern mengalami krisis keagamaan, dan di saat perdagangan
bebas dunia makin mendekati pintu gerbangnya, keberadaan madrasah
tampak makin dibutuhkan manusia modern.
Terlepas dari berbagai problema yang dihadapi, baik yang berasal dari
dalam sistem seperti masalah manajemen, kualitas input, dan kondisi
sarana prasarananya, maupun dari luar sistem seperti persyaratan
akreditasi yang kaku dan aturan-aturan lain yang menimbulkan kesan
madrasah sebagai “sapi perah”, madrasah yang memiliki karakteristik khas
yang tidak dimiliki oleh model pendidikan lainnya itu menjadi salah
satu tumpuan harapan manusia modern untuk mengatasi keringnya hati dari
nuansa keagamaan dan menghindarkan diri dari fenomena demoralisasi dan
dehumanisasi yang semakin merajalela seiring dengan kemajuan peradaban
teknologi dan materi.
Sebagai jembatan antara model pendidikan pesantren dan model pendidikan
sekolah, madrasah menjadi sangat fleksibel diakomodasikan dalam berbagai
lingkungan. Di lingkungan pesantren, madrasah bukanlah barang asing
karena memang lahirnya madrasah merupakan inovasi model pendidikan
pesantren. Dengan kurikulum yang disusun rapi, para santri lebih mudah
mengetahui sampai di mana tingkat penguasaan materi yang dipelajari.
Dengan metode pengajaran modern yang disertai audio visual, kesan kumuh,
jorok, ortodoks, dan eksklusif yang selama itu melekat pada pesantren
sedikit demi sedikit terkikis. Masyarakat metropolitan makin tidak malu
mendatangi dan bahkan memasukkan putra-putrinya ke pesantren dengan
model pendidikan madrasah. Baik mereka yang sekadar berniat menempatkan
putra-putrinya pada lingkungan yang baik (agamis) maupun yang
benar-benar menguasai ilmu yang dikembangkan di pesantren tersebut,
orang makin berebut untuk mendapatkan fasilitas di sana.
Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo, misalnya, penuh dengan
putra-putri konglomerat. Sekali daftar tanpa mikir bayar, lengkap sudah
fasilitas didapat. Ma’had Al-Zaitun, yang berlokasi di daerah Haurgeulis
(sekitar 30 km dari pusat kota Indramayu), yang baru berdiri 1994, juga
telah menjadi incaran masyarakat modern kelas menengah ke atas, bahkan
sebagian muridnya berasal dari Malaysia, Singapura, dan Brunei
Darussalam. Dengan demikian, model pendidikan madrasah di lingkungan
pesantren telah memiliki daya tawar yang cukup tinggi.
Model-model pondok pesantren modern seperti itu kini telah bermunculan
di berbagai daerah. Di Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Kendal, misalnya,
juga ada Pondok Pesantren Darul Amanah yang mengutamakan penguasaan
bahasa asing, yakni bahasa Arab dan Inggris. Pondok Pesantren yang
didirikan oleh para alumni Pondok Pesantren Modem Gontor Ponorogo pada
tahun 1990 itu telah menampung sekitar 1.300 santri (siswa). Di Jawa
Barat ada sekolah plus Darrussalam Ciamis, Almasturiyyah Sukabumi,
Albasyariyyah Bandung, Tanwiriyyah Cianjur, dan banyak lagi yang
lainnya.
Melihat kenyataan seperti itu, tuntutan pengembangan madrasah
akhir-akhir ini dirasa cukup tinggi. Pengembangan madrasah di pesantren
yang pada umumnya di luar kota dirasa tidak cukup memenuhi tuntutan
masyarakat. Oleh karena itu, banyak model pendidikan madrasah
bermunculan di tengah kota, baik di kota kecil maupun kota-kota
metropolitan. Meskipun banyak madrasah yang berkembang di luar
lingkungan pesantren, budaya agama, moral, dan etika agamanya tetap
menjadi ciri khas sebuah lembaga pendidikan Islam. Etika pergaulan,
perilaku, dan performance pakaian para santrinya menjadi daya tarik
tersendiri, yang menjanjikan kebahagiaan hidup dunia akhirat sebagaimana
tujuan pendidikan Islam.
Jika merujuk pada teori Benjamin S. Bloom (1956) yang dikenal dengan
nama taxonomy of educational objectives, keberhasilan pendidikan secara
kuantitatif mencakup tiga domain, yaitu kognitif, afektif, dan
psikomotor. Meskipun demikian, keberhasilan output (lulusan) pendidikan
hanyalah merupakan keberhasilan kognitif. Artinya, anak yang tidak
pernah salat pun, jika ia dapat mengerjakan tes PAl (Pendidikan Agama
Islam) dengan baik, ia bisa lulus (berhasil), dan jika nilainya baik, ia
pun dapat diterima pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
Lain halnya dengan outcome (performance) seorang alumnus Madrasah,
bagaimanapun nilai rapor dan hasil ujiannya, moral keagamaan yang
melekat pada sikap dan perilakunya akan menjadi tolok ukur bagi
keberhasilan lembaga pendidikan yang menjadi tempat ia belajar. Karena
itulah keberhasilan outcome disebut keberhasilan afektif dan
psikomotorik. Bagi lembaga pendidikan “madrasah”, kedua standar
keberhasilan (output dan outcome) yang mencakup tiga domain taxonomy of
educational objectives tidak dapat dipisahkan.
Di samping mendidik kecerdasan, madrasah juga membina moral dan akhlak
siswanya. Itulah nilai plus madrasah dibandingkan sekolah umum yang
hanya menekankan pembinaan kecerdasan intelek (aspek kognitif) saja.
Dengan demikian, madrasah dapat menjadi solusi dalam sistem pendidikan
nasional.
Sumber : http://pgmkabsukabumi.blogspot.com/
Demikian info mengenai Madrasah Sebagai Alternatif Solusi Pendidikan Nasional, semoga ada manfaatnya.
WARNING..!! Etika BERKOMENTAR di Blog all's well :
a. Gunakanlah Perkataan yang Baik, Ramah dan Sopan
b. Komentar SPAM akan all's well HAPUS setelah direview
c. Komentar NEGATIF & RASIS akan Segera di HAPUS
d. Dilarang Menambahkan "LINK AKTIF" dalam Komentar
Note: "ANDA SOPAN KAMI PUN SEGAN" (all's well) ConversionConversion EmoticonEmoticon